
Oleh: Bintang Wahyu Saputra
Ketua Umum Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI)
75 tahun sudah, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan setelah dijajah selama lebih dari 350 tahun lamanya. Proses mencapai kemerdekaan tidaklah mudah. Kemerdekaan diraih dengan menguras tenaga serta mengorbankan nyawa ribuan bahkan jutaan manusia.
Untuk mencapai kemerdekaan, begitu banyak jalan berliku yang dilewati oleh segenap elemen bangsa. Masyarakat bahu membahu dan gotong royong tanpa mengenal asal usul, warna kulit, usia dan status sosial. Semua dilakukan demi satu tujuan, yakni Indonesia merdeka.
Salah satu elemen bangsa yang konsisten untuk melawan penjajah dengan tujuan kemerdekaan salah satunya adalah Haji Oemar Said (HOS) Tjokoroaminoto (1882-1934). Melalui organisasi Syarikat Islam (SI) yang berdiri pada 1905 yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI), HOS Tjokroaminoto mengumpulkan semua masyarakat tanpa diskriminasi alias tidak memandang SARA. Semuanya bisa terlibat dalam perjuangan SI secara langsung, asalkan memiliki cita-cita yang sama, yakni kemerdekaan Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Sukarno yang didampingi oleh Mohammad Hatta, maka saat itu juga Indonesia berada dalam fase baru, yakni bebas dari belenggu penjajah. Dengan keinginan yang kuat, akhirnya semua impian itu (bebas dari penjajahan) berhasil.
Ada satu hal yang menjadi kata kunci bagi bangsa ini untuk merdeka, yaitu saling tolong menolong tanpa mengenal suku, agama dan ras (SARA). Saat itu, masyarakat bersatu padu. Kekuatan masyarakat yang bersatu tersebut menjadi semangat yang dikemudian kita kenal dengan semangat 45.
Selain sebagai negara kepulauan (archipelagic state), bangsa Indonesia yang terdiri dari ratusan suku bangsa dan 6 agama (yang diakui) memang dikenal juga sebagai negara multicultural (multicultural state). Bahkan, Indonesia dapat dikatakan sebagai negara multikultural terbesar di dunia.
SARA Yang Menjadi Momok
Dalam perjalanan 75 tahun kemerdekaan, dengan multikultural yang tersaji, konflik yang berujung kepada SARA sangat rentan terjadi. Dalam catatan sejarah, beberapa kasus berbau SARA sempat terjadi. Kerusuhan berbungkus SARA menjadi noda hitam dalam perjalanan 75 tahun kemerdekaan. Beberapa kasus yang besar, misalnya, kerusuhan Sampit di Kalimantan Tengah tahun 2001 dan kerusuhan Ambon tahun 1999 serta konflik Papua.
Memang, akan menjadi momok yang menakutkan apabila isu SARA terus diembuskan untuk mencabik-cabik tenun kebangsaan yang telah dibangun. Konflik SARA sangat rentan terjadi jika masyarakat tidak lagi merasakan adanya rasa persatuan dan kesatuan sebagai masyarakat Indonesia.
Apalagi melihat nasionalisme masyarakat dalam bingkai kebangsaan yang mengalami proses ‘naik turun’. Kita bisa saja menjadi orang yang sangat Indonesia, namun tiba-tiba saja dengan letupan kecil, konflik SARA mengubah semuanya.
Ironisnya, menjelang 75 tahun Kemerdekaan Indonesia, perilaku kekerasan atas nama agama masih kerap dipertontonkan dan mudah kita saksikan. Paling baru adalah apa yang dialami keluarga Habib Umar Assegaff yang keluarganya dianiaya justru di malam midodareni, saat keluarga ini tengah menyiapkan perkawinan keluarga mereka. Lainnya adalah cerita tentang penolakan pembangunan gereja di sejumlah tempat Indonesia.
Wajah Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika seperti lenyap dalam sekejap. Munculnya kelompok intoleran mengatasnamakan agama tertentu bukan hanya meresahkan bagi pemeluk agama lain, tapi juga sesama pemeluk agamanya. Ditudingnya kelompok intoleran di Indonesia bukan tanpa alasan. Ada banyak jejak digital yang menjelaskan mereka teridentifikasi sebagai kelompok intoleran. Materi dakwah yang meresahkan, kerap provokatif, dan cenderung mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda dengan mereka, termasuk kepada mereka yang agamanya sama.
Wajah Indonesia yang damai dan cinta persatuan berubah menjadi wajah Indonesia yang marah-marah. Perubahan perilaku sebagian masyarakat ini dipengaruhi faham dari luar negeri yang tidak terfilter dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Kelompok intoleran ini berwujud nyata. Lihat saja jalan perjuangan mereka yang berupaya mengganti Pancasila dengan ideologi komunis berpaham kiri yang pernah diperjuangkan oleh kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) atau yang ingin mengganti Pancasila dengan Khilafah Islamiyah melalui ideologi transnasional yang menjadi agenda tunggal Hizbut Tahrir Internasional yang notabene sebagai ideologi asing—berasal dari Mesir.
Sejarah dunia mencatat pertumpahan darah atas nama agama merupakan konflik SARA yang paling berbahaya dan mengerikan. Dalam konteks Indonesia, SARA menjadi sesuatu yang penting untuk terus dijaga, dikelola dengan baik. Sebab, SARA adalah momok menakutkan seandainya kita tidak merasakan lagi rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi demi keberlangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai Perekat SARA
Pancasila sebagai ideologi sudah final bagi bangsa ini. Karena itu, sepatutnya setiap anak bangsa mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila alat pemersatu bangsa yang paling efektif karena diterima oleh semua golongan. Dengan demikian, Pancasila seharusnya bisa menjadi perekat dalam pergaulan bangsa ditengah perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antar golongan.
Misalnya sila ketiga, Persatuan Indonesia merupakan simbol yang tidak bisa dibantah dari tugas dan fungsi Pancasila sebagai pemersatu bangsa.
Mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila mutlak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Bhinneka Tunggal Ika menjadi penyempurnanya. Untuk mengaplikasikan nilai-nilai tersebut, cukup kita renungi dan jalankan setiap kehidupan dengan cara saling menghormati, saling tolong menolong dan saling toleransi antar sesama, antar individu didalam masyarakat.
Kita semua tentu tidak menginginkan adanya konflik yang berbau SARA yang akhirnya akan melepaskan perekat tersebut. Kita semua tentu menginginkan adanya kedamaian, ketenteraman dan persatuan yang kuat antar sesama anak bangsa. Semua demi kemajuan bangsa dan negara kedepan.
Oleh karena itu, kedepannya, kehidupan berbangsa dan bernegara harus selalu menjadi perekat di saat sebagaian masyarakat mulai meluapkan emosi mereka yang berujung kepada hal yang berbau SARA.
Sudahi Konflik, Mari Merdeka Tanpa SARA
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, saya bertanggungjawab atas keberlangsungan persatuan dan kesatuan di bumi pertiwi. Maka, sudah seyogyanya kita sudahi konflik yang berbau SARA.
Mari kita biarkan perbedaan di tengah-tengah masyarakat. Sebab perbedaan itu adalah sunatullah. Mari kita rayakan perbedaan tersebut dengan terus memupuk rasa persatuan dan kesatuan. Mari selalu kita semangati sejarah kemerdekaan bangsa ini dengan selalu menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan primordial, baik itu suku, agama dan ras.
Satu hal lagi yang penting, jangan sampai kita mengedepankan SARA dalam setiap pemilihan, baik itu pemilihan kepala daerah sampai kepada pemilihan pimpinan institusi negara, seperti pemilihan kepala kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang isu SARA-nya sangat kental dalam menjegal calon tertentu.
Dengan semangat 75 tahun Indonesia, mari merdeka tanpa SARA!!!