
Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI) menggelar diskusi daring (dalam jaringan) pada Senin (5/10/20), bertajuk: “Pam Swakarsa: Untuk apa dan siapa?”. Diskusi yang menghadirkan beberapa narasumber dari kalangan professional tersebut bertujuan memberikan sumbangsih sekaligus koreksi terhadap beberapa poin kebijakan terkait Perkap (peraturan kepala kepolisian) nomor 4 tahun 2020 itu.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut, antara lain: Dr. Connie Rahakundini Bakrie, pengamat intelijen dan militer; Alto Luger Labetubun, analis konflik dan keamanan; serta Abdul Rahman Sappara, DPP Forum Ketahanan Nasional.
Labetubun, selaku narasumber pertama, mengawali diskusi tersebut dengan menyatakan bahwa terkait Perkap nomor 4 tahun 2020 tentang Pam Swakarsa ini sebenarnya secara garis besar sudah diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Selain persoalan beban anggaran, ia menekankan pada kemungkinan adanya kerentanan (vulnerability) yang disebabkan oleh rekruitmen satuan keamanan lingkungan (satkamling) sebagaimana termaktub dalam pasal 3 Perkap tersebut.
“Khusus untuk satkamling, mesti dipersoalkan mengenai batasannya: berapa banyak? Sebab, apabila melibatkan komunitas lokal, seperti masyarakat adat atau komunitas agama dan lain sebagainya, bukan tidak mungkin dapat menyebabkan gesekan sosial di antara mereka. Lagi pula, mengapa harus sekarang Perkap itu disahkan di tengah situasi pandemi seperti ini?”, tandas Labetubun.
Pada kesempatan yang sama, Sappara, selaku narasumber kedua, secara terbuka menegaskan bahwa Perkap tersebut justru bukan merupakan kebutuhan yang mendesak bagi rakyat Indonesia saat ini. Alasannya, masih cukup banyak persoalan urgen dan mendasar yang dihadapi bangsa dewasa ini. Salah satunya ialah kendali pemerintah terhadap masuknya para pekerja asing yang semakin massif di negeri ini. Apalagi dengan telah disahkannya UU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) atau Omnibus Law. Di samping tentunya kita tidak memiliki anggaran yang memadai.
“Bagi saya, Pam Swakarsa bukan kebutuhan kita saat ini. Jadi apa perlu Pam Swakarsa diberlakukan? Tidak perlu! Kita masih terkendala dengan persoalan ekonomi bangsa yang semakin sengkarut. Termasuk penegakkan hukum yang sesuai selera elit penguasa,” imbuh Sappara.
Sementara itu, Dr. Connie, selaku narasumber ketiga, menilai bahwa pengesahan Perkap tersebut terlampau tergesa-gesa. Menurutnya, ketergesa-gesaan itu justru berpotensi memunculkan spekulasi negatif terhadap lembaga Polri, dalam hal ini kepada Kapolri sendiri sebagai yang paling bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Perkap tersebut.
“Kenapa bukan dari kalangan Menwa (resimen mahasiswa) yang direkrut? Apakah cukup dengan Perkap? Kenapa bukan UU saja? Lantas, mengapa eksekusinya justru di 2020? Apakah mungkin eksesnya di 2024? Menurut saya, ada yang belum jelas. Terlalu tergesa-gesa,” tegas Connie.
Diskusi yang dimoderatori Moehar Sjahdi, salah satu fungsionaris PB SEMMI tersebut berlangsung selama kurang lebih dua jam dengan peserta diskusi yang hadir secara virtual melalui zoom meeting dari kalangan mahasiswa dan umum. Diskusi dibuka secara resmi oleh Bintang Wahyu Saputra selaku Ketua Umum PB SEMMI periode 2019-2021. (Red)